OPINI – Pada 4 Juni 2024 lalu Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah telah menetapkan dan mengundangkan Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah nomor 2 tahun 2024 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Dayak. Tentu saja aturan ini menjadi angin segar bagi seluruh masyarakat adat Dayak yang ada di Kalimantan Tengah, apabila dia mampu menjawab beragam masalah yang dialami dan nampak seperti tidak berujung selama ini, pun pula sebaliknya jika ternyata aturan ini hanyalah macan kertas yang tak berdaya ubah bagi perbaikan nasib suku bangsa Dayak, maka ia tidaklah lebih dari sekumpulan narasi pasal dan ayat yang menambah obesitasnya regulasi dinegeri ini.

Dalam konsideran dari Peraturan Daerah ini khususnya pada bagian menimbang huruf c nya disebutkan, Peraturan Daerah ini memiliki tujuan ‘untuk memberikan arah, landasan dan kepastian hukum kepada Masyarakat Hukum Adat Dayak di Kalimantan Tengah, maka diperlukan pengaturan tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Dayak di Kalimantan Tengah’.

Kemudian penulis merasa tertarik dengan salah satu bagian dari perda ini yakni berkaitan dengan masalah Desa Adat, kenapa demikian? karena dalam catatan penulis setidaknya ada tiga (3) Desa di Kabupaten Gunung Mas, yakni Lewu Tumbang Samui, Lewu Tumbang Oroi dan Lewu Luwuk Tukau yang pernah mengajukan permohonannya pada 17 agustus 2020 untuk ditetapkan sebagai Desa Adat, yang berdasarkan ketentuan dan prasyarat sebagaimana yang diatur didalam Undang-Undang Desa dan perubahannya sekaligus aturan turunannya telah melaksanakan berbagai tahapan yang ditentukan.

Lantas bagaimana keberlanjutannya? jika mengacu pada konsidaran dari perda ini berkaitan dengan Kepastian Hukum, maka jelas nampak ada ketiadaan kepastian hukum sendiri, sehingga usulan dari tiga Lewu ini menanti pelunasan dan penyelesaian dari Pemerintahan Provinsi Kalimantan Tengah dan Pemerintahan daerah Kabupaten Gunung Mas.

Lebih lanjut dalam konsideran Perda ini jelas mencantumkan berkaitan dengan Undang-Undang Desa, selanjutnya memang dalam ketentuan umum Perda ini tidak diberikan penjelasan berkenaan Desa Adat, akan tetapi dalam ketentuan umumnya pasal 1 angka 14 disebutkan, Wilayah adat adalah satu kesatuan wilayah yang dikuasai oleh Masyarakat Hukum Adat dalam bentuk ruang hidup yang terdiri dari satu atau beberapa lewu/lebu/tumpuk/jo/rowu/laman atau dengan sebutan lainnya dan/atau gabungannya”–sehingga dengan pemahaman apa itu Desa adat bagi masyarakat Adat Dayak, yang tidak lain adalah Lewu itu sendiri, maka pasal ini merupakan cantolan untuk pelaksanaan dari penetapan Desa Adat yang telah diusulkan beberapa desa tersebut, karena definisi wilayah adat itu sendiri merupakan bagian yang tidak lain dari Desa Adat yang dipahami masyarakat adat Dayak.

Meskipun jika kita menelisik lebih jauh pengaturan Penataan Desa Adat didalam pasal 35 dari Perda Provinsi Kalimantan Tengah nomor 2 tahun 2024 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Dayak ini, masih belum sesuai dengan ketentuan yang dijelaskan oleh pasal 109 Undang-Undang Desa nomor 6 tahun 2014, ini membawa kita pada pertanyaan apakah mungkin Perda ini sudah sadari awal dibuat untuk tidak implementatif dan operasional nantinya? dengan alasan adanya ketidakterpenuhan aturan yang ada diatasnya.

Kita tentu bisa berdebat panjang terkait dengan substansi Perda ini, akan tetapi hari ini kepastian hukum dan bagaimana cara agar tidak lagi ada masyarakat Adat Dayak menjadi warga kelas dua di tanah dan kampung halamannya sendiri, jauh lebih urgen untuk kita perbincangkan penulis rasa.

Sehingga pemerintah daerah Provinsi dan kabupaten khususnya yang sudah ada permohonan untuk penetapan Desa Adat, bisa  menggunakan pasal 35 ayat 5, sehingga kekurangan dan ketidaklengkapan prasyarat yang diatur dan diamanatkan pasal 109 Undang-Undang Desa nomor 6 tahun 2014 bisa dilengkapi, karena Perda Provinsi Kalimantan Tengah nomor 2 tahun 2024 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Dayak telah memberikan ruang penafsiran delegasi kewenangan untuk mendapatkan solusi bagi masyarakat adat yang ingin ditetapkan Lewunya sebagai Desa Adat.

Terakhir, isu dan permasalahan masyarakat adat Dayak selama ini terus saja sering untuk diperbincangkan namun hampir tak pernah menemukan tawaran solusinya, diskusi dan perbicangan masyarakat adat Dayak selalu diseret dan dicurigai pada persoalan politik yang semerawut.

Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Dayak yang telah ditetapkan dan diundangkan ini semestinya tidak lagi memperpanjang daftar aturan yang tidak berdaya ubah, karena untuk pembuatan regulasi ini kita ketahui telah memakan waktu yang relatif cukup lama dan tidak sedikit biaya yang mesti digunakan dari pajak masyarakat Kalimantan Tengah termasuk didalamnya dari masyarakat hukum Adat Dayak itu sendiri, sehingga semestinya Perda ini mampu membuat celah dan ruang untuk menemukan solusinya atau setidak-tidaknya menjadikannya sebagai pintu masuk untuk mengurai dan menyelesaikan masalah yang terjadi selama ini atas nasib dan penghidupan suku bangsa Dayak itu sendiri khususnya di Kalimantan Tengah. Nv//001

Loading